Jumat, 21 Februari 2014

Belum Ada Judul (Part 2)

        Aku berjalan pelan melewati ruang tamu rumahku. Tangan Fhani membuka gagang pintu dan menariknya kedalam. Seberkas cahaya yang sudah 5 tahun ini tak aku lihat lagi muncul. Diikuti dengan rasa ketakutanku akan mimpi buruk yang sudah mananti. Fhani menarik tanganku keluar rumah. Aku hanya menunduk. Tak berani melihat sekelilingku.
            “Selamat pagi Fhani, mau ngampus ya ? Eh ini Fhana ya duh udah lama gak pernah keluar” Tiba – tiba sebuah suara membuatku sangat kaku.
            “Ah selamat pagi juga bibi Rosa, iya ini Fhani sama kak Fhana mau kekampus” Jawab Fhani ceria. Terdengar tawa bibi Rosa yang cukup membuat telingaku berdenging. Aku tau wanita ini. Dia adalah tetangga depan rumahku, namun sudah lama aku tak bertemu dengannya. Aku mencoba melihatnya, tubuh bibi Rosa terlihat lebik gemuk sekarang.
            “Oh iya, bibi sampai lupa kalau Fhana itu kakak kamu ya Fhani, sekarang malah jadi adik tingkat kamu dong di kampus ?” Ujar bibi Rosa sambil memandangku. Tatapan itu seakan mengincarku. Aku semakin gugup. Fhani hanya tertawa. Terdengar klakson mobil papa menandakan kami siap berangkat, Aku menggenggam erat tangan Fhani. Fhani hanya menatapku sebentar kemudian ia melihat kearah mobil papa yang sudah siap.
            “Bibi Rosa, kita berangkat dulu yaa !” Seru Fhani. Ia menarik tanganku dan meninggalkan bibi Rosa yang melambaikan tangan kearah kami.

            Bel tanda istirahat berbunyi. Semua anak – anak berhamburan keluar terkecuali aku. Aku masih terdiam di mejaku dan merutuki diriku yang tidak pernah berani melawan perlakuan teman – temanku. Oh, bahkan aku sepertinya tak pantas menyebut mereka teman – temanku. Seorang yang pantas disebut teman tidak akan pernah membullyku seperti ini. Namun aku juga tidak bisa melawan. Aku takut mereka membenciku, walaupun aku tau tanpa melakukannya mereka memang sudah membenciku. Entah apa yang membuat mereka benar – benar membenciku. 3 tahun aku mencoba bertahan dari perlakuan teman – temanku. Tak seorangpun di sini mau berteman denganku. Semuanya menjauhiku. Semuanya menganggapku bodoh karena aku tak pernah mengumpulkan PR PRku. Padahal aku selalu mengerjakannya, tetapi mereka merampasnya mengakui hal itu adalah hasil kerja mereka. Tak ada yang tau akan hal ini. Aku memilih diam. Bahkan kedua orang tuakupun tak tau aku selalu mendapatkan perlakukan seperti ini dari mereka. Yang kedua orang tuaku tau aku selalu mendapat surat panggilan karena tidak pernah mengerjakan PR. Kedua orang tuaku juga menganggap aku bodoh. Dan aku tetap memilih diam. Walaupun dalam hatiku aku meronta, aku marah tapi aku tak memiliki secuil nyali untuk mengungkapkannya.
            “Fhana kita minta maaf ya, kalo selama ini kita jahat sama kamu” Suara Misca membuatku menoleh kearahnya. Dia berdiri didepan mejaku, diikuti anggukan anak – anak lainnya. “Kamu mau maafin kita kan ?” Tanya Misca lagi.
            Aku tak percaya dengan semua ini, apakah ini mimpi. Aku diam. Sebuah tangan terulur mendekat padaku, diikuti tangan tangan lainnya. “Maafin kita ya Fhan” Ujar mereka bersamaan. Aku masih terdiam, tak mempercayai semua ini, apakah Tuhan mengabulkan doa doa ku ?. “Fhan, kita kan udah kelas 3, sebentar lagi kita lulus dan mungkin gak akan ketemu lagi..”Ujar Roland. “Setelah lulus kita akan lanjut ke SMA, pasti nanti kita akan punya kesibukan sendiri – sendiri” Tambah Roland. Aku terdiam. Namun bagai dihipnotis tanpa sadar tanganku ku terulur kearah Roland. Aku mencoba berdiri untuk menggandeng tangan Roland dan yang lainnya. Tapi aku merasa ada hal yang aneh. Rok ku terasa sangat lengket. Perasaanku tidak enak. Aku menoleh kearah belakang rok ku dan melihat segumpal permen karet bekas yang sudah menempel disana. Suara tawa itu kembali menggema memekakkan telingaku.
            “Hahahaha lihat rok gadis itu ! Ih jijik !” Seru Leony sambil menunjuk rok milikku.
            “Hahahaha dia gampang banget ditipu, siapa sih yang mau temenan sama gadis ter-freak di sekolah ini ? Gak bakal ada bego !” Ujar Roland yang diikuti seruan – seruan setuju dari anak – anak lain.
            Sakit. Pedih. Aku menutup kedua telingaku agar suara tawa itu tak terdengar. Tapi itu tak berhasil. Suara tawa itu justru semakin keras membuat telingaku pengak dan dadaku sakit. Sebuah tangan mendorongku keras hingga aku jatuh terduduk dilantai. Aku menangis. Dan ini pertama kalinya aku menangis. Aku melihat sekelilingku. Ramai. Sangat ramai. Pandanganku kabur. Suara tawa itu kembali terdengar menyakitkan. Diikuti berbagai teriakan – teriakan yang membuatku sesak nafas. Aku merasa malaikat maut akan datang dan mengambil nyawaku saat itu. Dadaku sakit. Aku tak bisa bernafas. Dan itu adalah hari terakhir aku bertemu orang – orang lain dan berada diluar rumahku.

            Keesokan harinya aku tak pernah mau untuk berangkat sekolah lagi. Bahkan keluar rumah. Aku tak pernah mau. Aku merasa ketika ada diluar rumah, aku akan mati. Seakan malaikat maut telah menunggu untuk mencabut nyawaku di luar sana. Hingga akhirnya selama 5 tahun aku tak pernah keluar rumah. Tak sekalipun. Masa SMA ku pun aku habiskan dengan  Homeschooling. Kedua orang tuaku menganggap aku adalah seorang yang pemalu sehingga mereka tak pernah mempermasalahkan hal ini. Seandainya mereka tau kelainan yang aku alami mereka pasti malu dan tak akan pernah mengakui memiliki seorang anak yang aneh seperti aku.

            “Fhana bersikap dewasalah sedikit. Sampai kapan kamu mau menjadi seorang pemalu seperti itu ?” Suara berat papa membangunkan kesadaranku kemasa depan. Ke masa dimana aku akan kembali mengulangi mimpi buruk yang sudah lama aku hindari.
            Aku hanya terdiam dan melirik wajah papa sebentar dari kaca di depan mobil. Fhani memelukku. “Kak Fhana gak usah malu, di kampus ada Fhani kok” Hibur Fhani sambil tersenyum. Aku menghembuskan nafasku perlahan. Seandainya Papa dan Fhani tau aku bukan seseorang yang pemalu melainkan seorang yang menderita agoraphobia, apakah mereka akan terus memaksaku untuk menghadapi bayangan – bayangan mengerikan yang akan terjadi diluar sana jika aku meninggalkan rumah ?
            Mobil papa berhenti di halaman depan sebuah gedung yang sangat cukup besar. Fhani melepas pelukannya, dan melihat sekeliling. Aku menahan nafasku sebentar dan mencoba ikut melihat sekeliling. Mimpi buruk itu kembali. Detak jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Aku melihat itu, bayangan malaikat maut yang akan mencabut nyawaku. Aku gak bisa. Fhani menggandeng tanganku dan mengajakku keluar dari mobil. Aku menahannya. Jika keluar dari mobil ini aku akan MATI !
            “Fhana, keluarlah !”Bentak Papa. Aku tetap diam dan kaku.  Apa papa mau aku mati jika aku keluar dari mobil ini ? Aku bertanya – tanya dalam hati. Tapi aku hanya terdiam tak melakukan apa – apa. Sepertinya papa sudah cukup kesal dengan sikap gila yang aku tunjukan. Ia membuka pintu mobil dan menarik tanganku secara paksa untuk keluar dari mobil.
            “Papa, biar kak Fhana sama Fhani aja” Bujuk Fhani. Ia memelukku. Kemudian ia menggandeng tanganku untuk berjalan masuk kedalam gedung. Aku resah. Aku tak tenang. Aku gugup. Bayang – bayang itu muncul. Aku melihat sekelilingku. Ramai. Sangat ramai. Jauh lebih ramai dari yang aku bayangkan. Detak jantungku berdegup lebih kencang. Aku takut. Aku akan mati. Dadaku sakit.
            “Hai Fhani lo datang bareng siapa nih ?” Sebuah suara mengejutkanku dan Fhani. Segerombolan orang datang menghampiriku dan Fhani. Ini jauh lebih buruk dari yang aku bayangkan. Rasa panik itu muncul. Dan aku tak bisa mengendalikannya.
            “Ini kakak gue, kenalin namanya Fhana” Jawab Fhani tetap ceria.
            “Fhan, lo yakin kakak lo sehat ? Dia pucet banget Fhan” Tanya seorang pria berwajah oriental. Serentak semua menatap wajahku. Suhu tubuhku turun secara signifikan. Aku merasa sangat dingin hingga tubuhku gemetar. Detak jantungku berdetak cepat tak karuan. Dadaku sakit. Dan aku merasa sangat kesulitan untuk bernafas. Bayang – bayang 5 tahun lalu kembali muncul. Tertawa, teriakan, ramai ! Aku takut. Aku akan mati !


Tidak ada komentar:

Posting Komentar