Selasa, 18 Februari 2014

Belum ada Judul (Part 1)

            “Tertawa, teriakan dan KERAMAIAN ! Aku benci semua itu”

            Sinar matahari menembus jendela kamarku. Perlahan aku membuka selimut yang menutupi kepalaku. Mataku bertemu dengan sinar matahari yang membuatku menyipitkan mata. Aku masih terdiam. Hening. Seketika aku merasa resah. Entah kenapa walaupun selama ini aku selalu merasa nyaman dengan keheningan, namun keheningan di pagi hari yang tercipta dari kamar mungilku ini justru membuatku merasa resah dan gugup. Tiba – tiba bayangan 5 tahun lalu kembali memenuhi memori otakku. Tertawa, teriakan dan KERAMAIAN. Aku menutup kedua mata dan telingaku. Oke sepertinya mimpi buruk itu akan terjadi lagi.
            Namaku Fhana. Aku seorang gadis biasa yang tidak spesial. Begitu biasanya diriku hingga kedua orang tuakupun tak pernah menganggap keberadaanku. Berbeda dengan adikku. Fhani. Dia begitu spesial, pintar, cantik, ramah dan berbagai hal yang selalu aku bayangkan melekat pada diriku ada padanya. Jika kalian melihat kita berdua, mungkin kalian akan mengatakan bahwa kita tidak ada hubungan darah, aku begitu berbeda dengannya. Kalian boleh berfikir pendapatku terlalu berlebihan. Tapi memang begitulah kenyataannya.
            Fhana dan Fhani. Aku diam, dia bergerak. Aku pasif, dia aktif. Aku mati, dia hidup. Oke bolehkah aku mengatakan bahwa benci dengan hidupku. Bahkan akupun membenci diriku sendiri. Agorafobia telah merenggut kebebasanku dan nyaliku.
            “Kak Fhana, kok belom siap siap ? Hari ini kan hari pertama kuliah kak” Seru Fhani ceria. Aku menoleh pada Fhani yang masih berdiri di depan pintu kamarku. Memohon padanya agar menghentikan semuanya. Aku tidak bisa. “Kak Fhana kenapa ?” Fhani berjalan kearahku dan memelukku.
            “Sepertinya aku belum siap Fhan” Bisikku pelan.
            Fhani memelukku lebih erat. “Kan kak Fhana kan udah janji sama papa dan mama mau kuliah tahun ini, masa kak Fhana mau nunda lagi ? Udah 2 tahun lho kak ?” Tanya Fhani.
            Aku terdiam. Tidak berani menatap wajah Fhani. Aku takut mengecewakannya. Oh iya aku takut pada segala hal. Aku tetap diam. Fhani menatap wajahku, namun aku masih tak berani menatap wajahnya. “Aku tunggu setengah jam lagi ya kak” ujar Fhani sambil tersenyum. Ia meninggalkan ku kembali sendirian. Aku masih terdiam.
            Fhani memang tidak tau.  Jangankan Fhani, kedua orang tuakupun tak tau aku menderita agoraphobia. Aku memendamnya sendiri. Aku takut mereka semua menganggapku gila karena kelainan ini. Aku takut mereka semua membawaku ke rumah sakit jiwa dan meninggalkan ku sendirian disana. Walaupun hal itu lebih baik daripada meninggalkanku di tengah kerumunan orang yang tidak aku kenal. Agorafobia memang telah merenggut segalanya. Agorafobia adalah suatu ketakutan berada ditempat terbuka. Fobia aneh ini telah menghantuiku 5 tahun terakhir. Ketika suara tawa, teriakan dan keramaian itu akan mengahabisi nyawaku. Kalian boleh menganggap aku gila atau tak waras, karena akupun sudah menganggap diriku gila ketika aku tau kelainan yang terjadi pada diriku. Suara tawa, teriakan dan bayang bayang keramaian sudah memenuhi otakku. Tubuhku gemetar. Aku merasa suhu disekitarku turun secara signifikan. Mimpi buruk itu menghantuiku kembali.
            PRAAAANNG !!
            Suara langkah kaki mendekati kamarku. Aku benci ini Tuhan, aku membenci diriku dan fobia yang bersatu dengan tubuhku.
            “Fhana, kamu kenapa ?” Papa membuka pintu dan melihat keadaanku yang masih terdiam di samping gelas yang pecah. Mama berlari memelukku dan memeriksa jari jari tanganku. Aku masih terdiam. Aku tak bisa menjalani mimpi buruk yang akan segera dimulai tapi aku juga tidak bisa mengatakan semua hal itu pada orang tuaku.
            “Lihat ! Gadis itu datang” Teriak Misca pada semua orang. Aku terdiam dan mempercepat langkahku. Tiba – tiba Roland menghalangi langkahku. Langkahku terhenti. Aku hanya terdiam dan menunduk tak berani menatap wajah Roland dan yang lainnya.
            “Mana PR matematikamu ! Aku mau lihat !” Paksa Roland sambil merebut ranselku dan menumpahkan semua isinya. “Jangaaan..”Teriakku memohon. Namun Roland tak memperdulikannya. Ia mengambil buku matematika dan bekal makan siangku. “Yang ini juga buat aku ya” Ujar Roland sambil mengacung acungkan kotak bekal milikku di depan mukaku. Ia meninggalkanku dan membuang ranselku seenaknya.
            Aku masih terdiam menahan tangis mencoba memunguti buku bukuku yang berserakan. Tiba tiba Misca, Leony dan Sandra berjalan didepanku sambil menginjak dan menendang buku bukuku. Anak – anak lain justru mentertawakan perlakuan Misca, Leony dan Sandra terhadapku. “Jangaaaannn..” Teriakku.
            “Kamu ngomong apa barusan ?” Teriak Misca. Teeeett teeeettt teeeett. Bel Berbunyi, Misca, Leony dan Sandra berlari berhamburan ke meja masing masing. Aku masih berusaha memunguti buku buku yang kotor dan berserakan tak karuan hingga bu guru datang.
            “Fhana, kamu kenapa ?” Tanya Bu Guru. Aku masih terdiam dan berusaha agar tak menangis.
            “Fhana telat bu, dia lari lari didepan kelas dan terpeleset” Seru Sandra di ikuti teriakan teriakan setuju dari anak – anak lain.
            “Kenapa kalian tidak membantu Fhana” Tanya Bu Guru lagi, kali ini beliau membantuku memasukan buku bukuku kedalam ransel milikku.
            “Dia aja gak mau kita bantuin bu, dia kan suka dengan kesendiriannya” Sahut Roland.
            Bu Guru menyerahkan ransel milikku dan aku membawanya ke mejaku yang letaknya paling belakang dikelas ini. Aku duduk dan mengamati tulisan tulisan di meja ini. Aku ingin menangis. Hei gadis bodoh ! Fhana si bodoh ! Meja ini dihuni oleh orang paling bodoh di dunia !!! Dan masih banyak tulisan tulisan lainnya.
            “Anak – anak keluarkan PR kalian !” Perintah bu Guru. Seketika aku teringat PR matematikaku yang dirampas Roland tadi. Tiba – tiba sebuah potongan kertas mendarat di mejaku. Aku membukanya.
            JANGAN BILANG APA APA SAMA BU GURU ! KAMU AKAN TAU AKIBATNYA KALO NGADU KE BU GURU !!!!
            Aku resah membaca surat itu. Aku diam. Aku benci karena aku tidak bisa melawan.
            “Fhana PRmu mana ?” Tanya Bu Guru. Aku terkejut dan mencoba berkata sejujurnya.
            “Paling lupa lagi bu”Ujar Misca. Bu Guru menatapku tajam. Aku hanya menunduk tak berani membalas tatapan Bu Guru. “Benar itu Fhana” tanya Bu Guru.
            Aku terdiam, dan aku mengangguk. Seketika itu Bu Guru memarahiku. Seperti biasa, aku sering mendapat perlakuan tak adil seperti ini. Terlihat beberapa anak – anak tertawa tawa kecil mentertawai kebodohan yang aku lakukan.
            “Fhana habiskan sarapanmu, jangan fikirkan masalah gelas tadi. Mama tau kamu sering melakukannya” Seru mama membuyarkan fikiranku tentang mimpi buruk itu.

            “Oke udah waktunya kita berangkat” Ujar papa sambil beranjak dari kursinya. Fhani terlihat ceria sekali hari itu. “Ayo Kak Fhana” Sahut Fhani sambil mengandeng tanganku. Deg detak jantungku seakan berhenti. Mimpi buruk ini benar – benar akan dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar