Aku berjalan pelan melewati ruang tamu rumahku. Tangan Fhani
membuka gagang pintu dan menariknya kedalam. Seberkas cahaya yang sudah 5 tahun
ini tak aku lihat lagi muncul. Diikuti dengan rasa ketakutanku akan mimpi buruk
yang sudah mananti. Fhani menarik tanganku keluar rumah. Aku hanya menunduk.
Tak berani melihat sekelilingku.
“Selamat
pagi Fhani, mau ngampus ya ? Eh ini Fhana ya duh udah lama gak pernah keluar”
Tiba – tiba sebuah suara membuatku sangat kaku.
“Ah selamat
pagi juga bibi Rosa, iya ini Fhani sama kak Fhana mau kekampus” Jawab Fhani
ceria. Terdengar tawa bibi Rosa yang cukup membuat telingaku berdenging. Aku
tau wanita ini. Dia adalah tetangga depan rumahku, namun sudah lama aku tak
bertemu dengannya. Aku mencoba melihatnya, tubuh bibi Rosa terlihat lebik gemuk
sekarang.
“Oh iya,
bibi sampai lupa kalau Fhana itu kakak kamu ya Fhani, sekarang malah jadi adik
tingkat kamu dong di kampus ?” Ujar bibi Rosa sambil memandangku. Tatapan itu
seakan mengincarku. Aku semakin gugup. Fhani hanya tertawa. Terdengar klakson
mobil papa menandakan kami siap berangkat, Aku menggenggam erat tangan Fhani.
Fhani hanya menatapku sebentar kemudian ia melihat kearah mobil papa yang sudah
siap.
“Bibi Rosa,
kita berangkat dulu yaa !” Seru Fhani. Ia menarik tanganku dan meninggalkan
bibi Rosa yang melambaikan tangan kearah kami.
Bel tanda
istirahat berbunyi. Semua anak – anak berhamburan keluar terkecuali aku. Aku
masih terdiam di mejaku dan merutuki diriku yang tidak pernah berani melawan
perlakuan teman – temanku. Oh, bahkan aku sepertinya tak pantas menyebut mereka
teman – temanku. Seorang yang pantas disebut teman tidak akan pernah membullyku
seperti ini. Namun aku juga tidak bisa melawan. Aku takut mereka membenciku,
walaupun aku tau tanpa melakukannya mereka memang sudah membenciku. Entah apa
yang membuat mereka benar – benar membenciku. 3 tahun aku mencoba bertahan dari
perlakuan teman – temanku. Tak seorangpun di sini mau berteman denganku.
Semuanya menjauhiku. Semuanya menganggapku bodoh karena aku tak pernah
mengumpulkan PR PRku. Padahal aku selalu mengerjakannya, tetapi mereka
merampasnya mengakui hal itu adalah hasil kerja mereka. Tak ada yang tau akan
hal ini. Aku memilih diam. Bahkan kedua orang tuakupun tak tau aku selalu
mendapatkan perlakukan seperti ini dari mereka. Yang kedua orang tuaku tau aku
selalu mendapat surat panggilan karena tidak pernah mengerjakan PR. Kedua orang
tuaku juga menganggap aku bodoh. Dan aku tetap memilih diam. Walaupun dalam
hatiku aku meronta, aku marah tapi aku tak memiliki secuil nyali untuk
mengungkapkannya.
“Fhana kita
minta maaf ya, kalo selama ini kita jahat sama kamu” Suara Misca membuatku
menoleh kearahnya. Dia berdiri didepan mejaku, diikuti anggukan anak – anak
lainnya. “Kamu mau maafin kita kan ?” Tanya Misca lagi.
Aku tak
percaya dengan semua ini, apakah ini mimpi. Aku diam. Sebuah tangan terulur
mendekat padaku, diikuti tangan tangan lainnya. “Maafin kita ya Fhan” Ujar
mereka bersamaan. Aku masih terdiam, tak mempercayai semua ini, apakah Tuhan
mengabulkan doa doa ku ?. “Fhan, kita kan udah kelas 3, sebentar lagi kita
lulus dan mungkin gak akan ketemu lagi..”Ujar Roland. “Setelah lulus kita akan
lanjut ke SMA, pasti nanti kita akan punya kesibukan sendiri – sendiri” Tambah
Roland. Aku terdiam. Namun bagai dihipnotis tanpa sadar tanganku ku terulur
kearah Roland. Aku mencoba berdiri untuk menggandeng tangan Roland dan yang
lainnya. Tapi aku merasa ada hal yang aneh. Rok ku terasa sangat lengket.
Perasaanku tidak enak. Aku menoleh kearah belakang rok ku dan melihat segumpal
permen karet bekas yang sudah menempel disana. Suara tawa itu kembali menggema
memekakkan telingaku.
“Hahahaha
lihat rok gadis itu ! Ih jijik !” Seru Leony sambil menunjuk rok milikku.
“Hahahaha
dia gampang banget ditipu, siapa sih yang mau temenan sama gadis ter-freak di
sekolah ini ? Gak bakal ada bego !” Ujar Roland yang diikuti seruan – seruan
setuju dari anak – anak lain.
Sakit.
Pedih. Aku menutup kedua telingaku agar suara tawa itu tak terdengar. Tapi itu
tak berhasil. Suara tawa itu justru semakin keras membuat telingaku pengak dan
dadaku sakit. Sebuah tangan mendorongku keras hingga aku jatuh terduduk dilantai.
Aku menangis. Dan ini pertama kalinya aku menangis. Aku melihat sekelilingku.
Ramai. Sangat ramai. Pandanganku kabur. Suara tawa itu kembali terdengar
menyakitkan. Diikuti berbagai teriakan – teriakan yang membuatku sesak nafas.
Aku merasa malaikat maut akan datang dan mengambil nyawaku saat itu. Dadaku sakit.
Aku tak bisa bernafas. Dan itu adalah hari terakhir aku bertemu orang – orang lain
dan berada diluar rumahku.
Keesokan harinya aku tak pernah mau untuk
berangkat sekolah lagi. Bahkan keluar rumah. Aku tak pernah mau. Aku merasa
ketika ada diluar rumah, aku akan mati. Seakan malaikat maut telah menunggu
untuk mencabut nyawaku di luar sana. Hingga akhirnya selama 5 tahun aku tak
pernah keluar rumah. Tak sekalipun. Masa SMA ku pun aku habiskan dengan Homeschooling. Kedua orang tuaku menganggap aku adalah
seorang yang pemalu sehingga mereka tak pernah mempermasalahkan hal ini.
Seandainya mereka tau kelainan yang aku alami mereka pasti malu dan tak akan
pernah mengakui memiliki seorang anak yang aneh seperti aku.
“Fhana bersikap
dewasalah sedikit. Sampai kapan kamu mau menjadi seorang pemalu seperti itu ?”
Suara berat papa membangunkan kesadaranku kemasa depan. Ke masa dimana aku akan
kembali mengulangi mimpi buruk yang sudah lama aku hindari.
Aku hanya terdiam dan
melirik wajah papa sebentar dari kaca di depan mobil. Fhani memelukku. “Kak
Fhana gak usah malu, di kampus ada Fhani kok” Hibur Fhani sambil tersenyum. Aku
menghembuskan nafasku perlahan. Seandainya Papa dan Fhani tau aku bukan
seseorang yang pemalu melainkan seorang yang menderita agoraphobia, apakah
mereka akan terus memaksaku untuk menghadapi bayangan – bayangan mengerikan
yang akan terjadi diluar sana jika aku meninggalkan rumah ?
Mobil papa berhenti di
halaman depan sebuah gedung yang sangat cukup besar. Fhani melepas pelukannya,
dan melihat sekeliling. Aku menahan nafasku sebentar dan mencoba ikut melihat
sekeliling. Mimpi buruk itu kembali. Detak jantungku berdegup lebih cepat dari
biasanya. Aku melihat itu, bayangan malaikat maut yang akan mencabut nyawaku.
Aku gak bisa. Fhani menggandeng tanganku dan mengajakku keluar dari mobil. Aku
menahannya. Jika keluar dari mobil ini aku akan MATI !
“Fhana, keluarlah !”Bentak
Papa. Aku tetap diam dan kaku. Apa papa
mau aku mati jika aku keluar dari mobil ini ? Aku bertanya – tanya dalam hati.
Tapi aku hanya terdiam tak melakukan apa – apa. Sepertinya papa sudah cukup
kesal dengan sikap gila yang aku tunjukan. Ia membuka pintu mobil dan menarik
tanganku secara paksa untuk keluar dari mobil.
“Papa, biar kak Fhana
sama Fhani aja” Bujuk Fhani. Ia memelukku. Kemudian ia menggandeng tanganku
untuk berjalan masuk kedalam gedung. Aku resah. Aku tak tenang. Aku gugup.
Bayang – bayang itu muncul. Aku melihat sekelilingku. Ramai. Sangat ramai. Jauh
lebih ramai dari yang aku bayangkan. Detak jantungku berdegup lebih kencang.
Aku takut. Aku akan mati. Dadaku sakit.
“Hai Fhani lo datang bareng
siapa nih ?” Sebuah suara mengejutkanku dan Fhani. Segerombolan orang datang
menghampiriku dan Fhani. Ini jauh lebih buruk dari yang aku bayangkan. Rasa panik
itu muncul. Dan aku tak bisa mengendalikannya.
“Ini kakak gue, kenalin
namanya Fhana” Jawab Fhani tetap ceria.
“Fhan, lo yakin kakak lo
sehat ? Dia pucet banget Fhan” Tanya seorang pria berwajah oriental. Serentak
semua menatap wajahku. Suhu tubuhku turun secara signifikan. Aku merasa sangat
dingin hingga tubuhku gemetar. Detak jantungku berdetak cepat tak karuan.
Dadaku sakit. Dan aku merasa sangat kesulitan untuk bernafas. Bayang – bayang 5
tahun lalu kembali muncul. Tertawa, teriakan, ramai ! Aku takut. Aku akan mati
!