“Tertawa, teriakan dan KERAMAIAN ! Aku benci
semua itu”
Sinar
matahari menembus jendela kamarku. Perlahan aku membuka selimut yang menutupi
kepalaku. Mataku bertemu dengan sinar matahari yang membuatku menyipitkan mata.
Aku masih terdiam. Hening. Seketika aku merasa resah. Entah kenapa walaupun
selama ini aku selalu merasa nyaman dengan keheningan, namun keheningan di pagi
hari yang tercipta dari kamar mungilku ini justru membuatku merasa resah dan
gugup. Tiba – tiba bayangan 5 tahun lalu kembali memenuhi memori otakku. Tertawa,
teriakan dan KERAMAIAN. Aku menutup kedua mata dan telingaku. Oke sepertinya
mimpi buruk itu akan terjadi lagi.
Namaku
Fhana. Aku seorang gadis biasa yang tidak spesial. Begitu biasanya diriku
hingga kedua orang tuakupun tak pernah menganggap keberadaanku. Berbeda dengan
adikku. Fhani. Dia begitu spesial, pintar, cantik, ramah dan berbagai hal yang
selalu aku bayangkan melekat pada diriku ada padanya. Jika kalian melihat kita
berdua, mungkin kalian akan mengatakan bahwa kita tidak ada hubungan darah, aku
begitu berbeda dengannya. Kalian boleh berfikir pendapatku terlalu berlebihan.
Tapi memang begitulah kenyataannya.
Fhana dan
Fhani. Aku diam, dia bergerak. Aku pasif, dia aktif. Aku mati, dia hidup. Oke
bolehkah aku mengatakan bahwa benci dengan hidupku. Bahkan akupun membenci
diriku sendiri. Agorafobia telah merenggut kebebasanku dan nyaliku.
“Kak Fhana,
kok belom siap siap ? Hari ini kan hari pertama kuliah kak” Seru Fhani ceria.
Aku menoleh pada Fhani yang masih berdiri di depan pintu kamarku. Memohon
padanya agar menghentikan semuanya. Aku tidak bisa. “Kak Fhana kenapa ?” Fhani
berjalan kearahku dan memelukku.
“Sepertinya
aku belum siap Fhan” Bisikku pelan.
Fhani
memelukku lebih erat. “Kan kak Fhana kan udah janji sama papa dan mama mau
kuliah tahun ini, masa kak Fhana mau nunda lagi ? Udah 2 tahun lho kak ?” Tanya
Fhani.
Aku terdiam.
Tidak berani menatap wajah Fhani. Aku takut mengecewakannya. Oh iya aku takut
pada segala hal. Aku tetap diam. Fhani menatap wajahku, namun aku masih tak
berani menatap wajahnya. “Aku tunggu setengah jam lagi ya kak” ujar Fhani
sambil tersenyum. Ia meninggalkan ku kembali sendirian. Aku masih terdiam.
Fhani memang
tidak tau. Jangankan Fhani, kedua orang
tuakupun tak tau aku menderita agoraphobia. Aku memendamnya sendiri. Aku takut
mereka semua menganggapku gila karena kelainan ini. Aku takut mereka semua
membawaku ke rumah sakit jiwa dan meninggalkan ku sendirian disana. Walaupun
hal itu lebih baik daripada meninggalkanku di tengah kerumunan orang yang tidak
aku kenal. Agorafobia memang telah merenggut segalanya. Agorafobia adalah suatu
ketakutan berada ditempat terbuka. Fobia aneh ini telah menghantuiku 5 tahun
terakhir. Ketika suara tawa, teriakan dan keramaian itu akan mengahabisi nyawaku.
Kalian boleh menganggap aku gila atau tak waras, karena akupun sudah menganggap
diriku gila ketika aku tau kelainan yang terjadi pada diriku. Suara tawa,
teriakan dan bayang bayang keramaian sudah memenuhi otakku. Tubuhku gemetar.
Aku merasa suhu disekitarku turun secara signifikan. Mimpi buruk itu
menghantuiku kembali.
PRAAAANNG !!
Suara langkah
kaki mendekati kamarku. Aku benci ini Tuhan, aku membenci diriku dan fobia yang
bersatu dengan tubuhku.
“Fhana, kamu
kenapa ?” Papa membuka pintu dan melihat keadaanku yang masih terdiam di
samping gelas yang pecah. Mama berlari memelukku dan memeriksa jari jari
tanganku. Aku masih terdiam. Aku tak bisa menjalani mimpi buruk yang akan
segera dimulai tapi aku juga tidak bisa mengatakan semua hal itu pada orang
tuaku.
“Lihat !
Gadis itu datang” Teriak Misca pada semua orang. Aku terdiam dan mempercepat
langkahku. Tiba – tiba Roland menghalangi langkahku. Langkahku terhenti. Aku hanya
terdiam dan menunduk tak berani menatap wajah Roland dan yang lainnya.
“Mana PR
matematikamu ! Aku mau lihat !” Paksa Roland sambil merebut ranselku dan
menumpahkan semua isinya. “Jangaaan..”Teriakku memohon. Namun Roland tak
memperdulikannya. Ia mengambil buku matematika dan bekal makan siangku. “Yang
ini juga buat aku ya” Ujar Roland sambil mengacung acungkan kotak bekal milikku
di depan mukaku. Ia meninggalkanku dan membuang ranselku seenaknya.
Aku masih
terdiam menahan tangis mencoba memunguti buku bukuku yang berserakan. Tiba tiba
Misca, Leony dan Sandra berjalan didepanku sambil menginjak dan menendang buku
bukuku. Anak – anak lain justru mentertawakan perlakuan Misca, Leony dan Sandra
terhadapku. “Jangaaaannn..” Teriakku.
“Kamu
ngomong apa barusan ?” Teriak Misca. Teeeett teeeettt teeeett. Bel Berbunyi,
Misca, Leony dan Sandra berlari berhamburan ke meja masing masing. Aku masih
berusaha memunguti buku buku yang kotor dan berserakan tak karuan hingga bu
guru datang.
“Fhana, kamu
kenapa ?” Tanya Bu Guru. Aku masih terdiam dan berusaha agar tak menangis.
“Fhana telat
bu, dia lari lari didepan kelas dan terpeleset” Seru Sandra di ikuti teriakan
teriakan setuju dari anak – anak lain.
“Kenapa
kalian tidak membantu Fhana” Tanya Bu Guru lagi, kali ini beliau membantuku
memasukan buku bukuku kedalam ransel milikku.
“Dia aja gak
mau kita bantuin bu, dia kan suka dengan kesendiriannya” Sahut Roland.
Bu Guru
menyerahkan ransel milikku dan aku membawanya ke mejaku yang letaknya paling
belakang dikelas ini. Aku duduk dan mengamati tulisan tulisan di meja ini. Aku ingin
menangis. Hei gadis bodoh ! Fhana si bodoh ! Meja ini dihuni oleh orang paling
bodoh di dunia !!! Dan masih banyak tulisan tulisan lainnya.
“Anak – anak
keluarkan PR kalian !” Perintah bu Guru. Seketika aku teringat PR matematikaku
yang dirampas Roland tadi. Tiba – tiba sebuah potongan kertas mendarat di
mejaku. Aku membukanya.
JANGAN
BILANG APA APA SAMA BU GURU ! KAMU AKAN TAU AKIBATNYA KALO NGADU KE BU GURU
!!!!
Aku resah
membaca surat itu. Aku diam. Aku benci karena aku tidak bisa melawan.
“Fhana PRmu
mana ?” Tanya Bu Guru. Aku terkejut dan mencoba berkata sejujurnya.
“Paling lupa
lagi bu”Ujar Misca. Bu Guru menatapku tajam. Aku hanya menunduk tak berani
membalas tatapan Bu Guru. “Benar itu Fhana” tanya Bu Guru.
Aku terdiam,
dan aku mengangguk. Seketika itu Bu Guru memarahiku. Seperti biasa, aku sering
mendapat perlakuan tak adil seperti ini. Terlihat beberapa anak – anak tertawa
tawa kecil mentertawai kebodohan yang aku lakukan.
“Fhana
habiskan sarapanmu, jangan fikirkan masalah gelas tadi. Mama tau kamu sering
melakukannya” Seru mama membuyarkan fikiranku tentang mimpi buruk itu.
“Oke udah
waktunya kita berangkat” Ujar papa sambil beranjak dari kursinya. Fhani
terlihat ceria sekali hari itu. “Ayo Kak Fhana” Sahut Fhani sambil mengandeng
tanganku. Deg detak jantungku seakan berhenti. Mimpi buruk ini benar – benar akan
dimulai.